Hidup ini bukan tentang menjadi pemenang atau pecundang, namun tentang menjadi diri sendiri dan bisa memberikan yang terbaik untuk orang di sekeliling kita

16 November 2011

Pesona Dua Presiden Gemini

Wajah rupawan Soekarno dan senyum menawan Soeharto. Itulah pesona yang disuguhkan dua pemimpin Indonesia berbintang Gemini.

Entah suatu kebetulan atau tidak, dua dari enam presiden Indonesia berzodiak sama, yakni Gemini yang berlambang si kembar.

Keduanya adalah Soekarno yang lahir pada 6 Juni 1901 dan Soeharto pada 8 Juni 1921. Mereka secara berturut-turut menjadi pemimpin pertama dan kedua Tanah Air.

Menurut http://www.primbon. com, Gemini adalah simbol kecerdasan dan banyak akal, memiliki pesona alami dan energi kharisma yang menarik. Para Gemini dikenal senantiasa mencari sesuatu yang lain, termasuk juga kekasih.

Bisa jadi analisa tentang Gemini tersebut mencerminkan kehidupan Soekarno yang kerap dicap playboy. Namun demikian, kharisma kepemimpinan Soekarno juga melekat dalam ingatan.

Pria ganteng berpenampilan perlente namun penuh wibawa ini kerap diidolakan rakyat Indonesia meski sudah soekarno-soeharto-2tiada sejak hampir 38 tahun silam. Bahkan hingga generasi yang belum lahir saat masa keemasannya.
Banyak wanita yang kesengsem padanya. Dalam buku “Istri-istri Soekarno” karya Muhammad Yuanda Zara, ada 9 perempuan dalam pelukan Sang Proklamator itu dalam ikatan pernikahan.

Putra Sang Fajar ini memiliki delapan anak dari tiga istrinya. Istrinya yang masih hidup hingga kini adalah Naoko Nemoto. Perempuan Jepang berusia 68 tahun yang diberi nama Ratna Sari Dewi oleh Soekarno itu dikenal sebagai Madame Syuga karena pernah heboh dengan foto sensualnya.

Pesona berbeda ditampilkan Soeharto. Senyum khasnya nan menawan membuat penguasa Orde Baru ini dijuluki sebagai “The Smiling General”. Soeharto memiliki satu istri dengan enam anak.

Meski kerap dihujat setelah lengser keprabon, pesona Soeharto tidak lenyap. Terbukti dengan banyaknya tokoh dan pejabat yang membesuknya ketika Bapak Pembangunan Indonesia ini terbaring di rumah sakit. Sementara kasus dugaan korupsi yang membelitnya tetap menggantung dan terkatung-katung.

Setelah Soeharto, masa kejayaan pemilik rasi bintang Gemini lenyap. Empat presiden berikutnya memiliki zodiak berbeda-beda.

BJ Habibie yang lahir pada 25 Juni 1936 berbintang Cancer. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang lahir pada 4 Agustus 1940 berbintang Leo. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri yang lahir pada 23 Januari 1947 berzodiak Aquarius. Susilo Bambang Yudhoyono yang lahir pada 9 September 1949 berbintang Virgo.

Setelah pemilihan presiden secara langsung digelar pada 2004, kerap terdengar istilah capres tebar pesona. Istilah ini menggema kembali menjelang Pilpres 2009. Tapi mungkin belum ada yang bisa menandingi pesona Soekarno dan Soeharto.

Berjilbab, Berakhir 18 Tikaman Hingga Tewas

Meski pemerintah Jerman berusaha menutup-tutupi kematian Marwa Al-Sharbini, cerita tentang Marwa mulai menyebar dan mengguncang komunitas Muslim di berbagai negara. Untuk mengenang Marwa, diusulkan untuk menggelar HariHijab Internasional yang langsung mendapat dukungan dari Muslim di berbagai negara.

Usulan itu dilontarkan oleh Ketua Assembly for the Protection of Hijab, Abeer Pharaon lewat situs Islamonline. Abeer mengatakan, Marwa Al-Sharbini adalah seorang martir bagi perjuangan muslimah yang mempertahankan jilbabnya. “Ia menjadi korban Islamofobia, yang masih dialami banyak Muslim di Eropa. Kematian Marwa layak untuk diperingati dan dijadikan sebagai Hari Hijad Sedunia,” kata Abeer.

Seruan Abeer disambut oleh sejumlah pemuka Muslim dunia antara lain Rawa Al-Abed dari Federation of Islamic Organizations di Eropa. “Kami mendukung usulan ini. Kami juga menyerukan agar digelar lebih banyak lagi kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak muslimah di Eropa, termasuk hak mengenakan jilbab,” kata Al-Abed.

Selama ini, masyarakat Muslim di negara-negara non-Muslim memperingati Hari Solidaritas Jilbab Internasional setiap pekan pertama bulan September. Hari peringatan itu dipelopori oleh Assembly for the Protection of Hijab sejak tahun 2004, sebagai bentuk protes atas larangan berjilbab yang diberlakukan negara Prancis.

Seperti diberitakan sebelumnya di Eramuslim, Marwa Al-Sharbini, 32, meninggal dunia karena ditusuk oleh seorang pemuda Jerman keturunan Rusia pada Rabu (1/7) di ruang sidang gedung pengadilan kota Dresden, Jerman. Saat itu, Marwa akan memberikan kesaksian dalam kasus penghinaan yang dialaminya hanya karena ia mengenakan jilbab.Belum sempat memberikan kesaksiannya, pemuda Jerman itu menyerang Marwa dan menusuk ibu satu orang anak itu sebanyak 18 kali. Suami Marwa berusaha melindungi isterinya yang sedang hamil tiga bulan itu, tapi ia juga mengalami luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit.

Kasus Marwa Al-Sharbini menjadi bukti bahwa Islamofobia masih sangat kuat diBarat dan sudah banyak Muslim yang menjadi korban. “Apa yang terjadi pada Marwa sangat berbahaya. Kami sudah sejak lama mengkhawatirkan bahwa suatu saat akan ada seorang muslimah yang dibunuh karena mengenakan jilbab,” kata Sami Dabbah, jubir Coalition Against Islamophobia.

Dabbah mengatakan, organisasinya berulang kali mengingatkan agar para muslimah waspada akan makin menguatnya sikap anti jilbab di kalangan masyarakat Barat.

Profesor bidang teologi dan filosifi dari Universitas Al-Azhar, Amina Nusser juga memberikan dukungannya atas usulan Hari Jilbab Internasional yang bisa dijadikan momentum untuk merespon sikap anti-jilbab di Barat. “Hari peringatan itu akan menjadi kesempatan bagi kita untuk mengingatkan Barat agar bersikap adil terhadap para muslimah dan kesempatan untuk menunjukkan pada Barat bahwa Islam menghormati keberagaman, ” tukas Nusser.

Nusser menegaskan bahwa hak seorang muslimah untuk berbusana sesuai ajaran agamanya, tidak berbeda dengan hak penganut agama lainnya. Ia mengingatkan, bahwa kaum perempuan penganut Kristen Ortodoks juga mengenakan kerudung sebelum masuk ke gereja.
Dukungan untuk menggelar Hari Jilbab Internasional juga datang dari Muslim Association of Denmark. Ketuanya, Mohammed Al-Bazzawi. “Hari Jilbab untuk mengingatkan masyarakat Barat bahwa hak muslimah untuk mengenakan jilbab sama setara dengan hak perempuan non-Muslim yang bisa mengenakan busana apa saja. Mereka di Barat yang bicara soal hak perempuan, selayaknya menyadari bahwa mereka juga tidak bisa mengabaikan hak seorang perempuan untuk mengenakan jilbab,” tandas Al-Bazzawi.

Bagaimana dengan Muslim Indonesia, apakah akan memberikan dukungan juga?

Air Zam-zam Ala Masjid Peneleh Surabaya

Matahari terasa menyengat, suhu di Kota Surabaya kala itu mencapai 32 derajat celcius, salat dzuhur berjamaah baru saja usai dilaksanakan. Sambil berteduh, para jamaah duduk-duduk santai, ada yang tidur-tiduran, bercengkrama bahkan tidak sedikit yang membaca ayat-ayat suci Al-Quran.

Pemandangan seperti itu kerap terjadi setiap harinya di Masjid Jami Peneleh, di Jalan Peneleh 5 No 41, Surabaya, Jawa Timur, terlebih selama bulan suci ramadan.

Selain karena kemegahannya, masjid ini juga menyimpan banyak cerita. Lokasinya yang berdekatan dengan rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, salah satu pahlawan kemerdekaan RI, juga tercatat sebagai masjid tertua di Kota Surabaya yang berdiri pada 1421, dibangun beberapa bulan sebelum dibangun Masjid Ampel.

Namun sayang, sekarang masjid ini nyaris luput dari perhatian orang banyak, tapi jika bertandang ke masjid ini dan menanyai setiap orang di kawasan itu, ceritanya begitu manarik, beragam, dan tentu banyak versi. Tidak ketinggalan aroma mistik. Maklum carita lisan yang kerap dibumbui imajinasi dari tiap-tiap generasi.

Bahkan, tidak sedikit mereka yang datang, selain salat dan berziarah, juga berburu air sumur untuk wudhu dan juga diminum. Konon menurut cerita, sumur itu diyakini sebagai petilasan (makam) Sunan Ampel atau Raden Rahmad. Sehingga akan berkah bila wudhu dengan air itu. Bahkan tidak sedikit yang membawanya pulang.

“Banyak cerita dari sejarah msajid ini, tetapi yang saya perhatikan bila datang ke sini banyak yang salat dan pulangnya membawa air yang diambil dari sumur masjid itu, katanya sumur tua itu berkhasiat,” ujar Imam Sahuri salah seorang pendatang yang mondok di kawasan itu.

Banyak yang meyakini, kualitas air sumur Masjid Peneleh sepadan dengan sumur di Masjid Ampel dan air zam-zam di halaman Kota Suci Mekah.

Keunikan lain yang tidak bisa disangkal, sampai saat ini sumur itu masih mengeluarkan air meski di musim kemarau panjang. Namun sayang, letak sumur mukzizat ini tersembuyi di bawah tangga dan bedug, sehingga sulit dilihat. Hanya saja air itu mengalir ke tempat wudlu.

Jika melihat kultur arsitekturnya, masjdi tua yang masih berdiri kokoh itu, termasuk masjid aliran neuw imperial. Pernah direnovasi pada tahun 1800. Masjid Peneleh ini, serupa dengan karakter bangunan Gedung Negera Grahadi di Jl Gubernur Suryo yang dibangun 1777.

Tiang penyangganya dari kayu jati termasuk rangka langit langitnya. Ada 10 tiang kayu jati raksasa menjulang tinggi dan saling menyambung di bagian langit-langit. Dipadu dengan kaca ukir yang cantik dan unik di setiap jendela masjid, menambah keindahan bangunan masjid.

Berharap Tuah Mata Air Sunan


Berada di Margodadi Seyegan, Sleman, Yogyakarta, sumber mata air itu telah menjadi tempat yang sakral bagi masyarakat di sana. Ada beberapa bangunan mengitari sumber mata air ini. Di antaranya dua sendang untuk berendam, satu mushala, dan ada pula bangunan tempat menyimpan barang pusaka. Tempat yang disebut Tuk Si Bedug.

Sehari menjelang Ramadan, ribuan orang datang ke sini. Mereka tak sekedar jalan-jalan, tapi juga berniat bersuci diri lahir dan batin. Di sini mereka berdoa dan membersihkan diri dengan mandi di kolam mata air ini. Tradisi ini disebut padusan.

Padusan tak lain adalah simbol menyucikan diri dari kotoran dengan harapan bisa menjalankan puasa dengan diawali kesucian lahir dan batin. Biasanya, tradisi Padusan ini dilakukan di pemandian umum dan di sumber air alami. Misalnya di Klaten, ada salah satu sumber mata air yang diberinama Cokro Tulung, di Boyolali ada Pengging yang tak lain adalah kolam yang tak jauh dari situs Kraton Surakarta.

Sedangkan di Sleman ada beberapa tempat yang telah disakralkan sebagai tempat pemandian suci. Selain Tuk Si Bedug ada dua tempat lainnya yang dikunjungi masyarakat sehari menjelang puasa, yaitu Umbul Pajangan di Wedomartani Ngemplak, dan Umbul Klangkapan di Margoluwih Seyegan.


Di antara tiga sumber mata air itu, memang yang paling istimewa adalah Tuk Si Bedug. Maklum di sini ada sebuah legenda yang mengaitkan Tuk Si Bedug dengan Sunan Kalijaga. Ini bukan sembarang tokoh, dia adalah salah seorang dari Wali Songo yang kisah hidupnya di kenang sepanjang masa oleh umat Islam di negeri ini.

Masyarakat Jawa percaya, Sunan Kalijaga pernah berada di Margodadi Seyegan. Saat itu, Sunan Kalijaga dalam perjalanan menyebarkan ajaran Islam. Melepas penat, Sunan beristirahat di bawah sebuah pohon yang besar. Kebetulan bertepatan dengan jadwal shalat Jumat, tepatnya Jumat Pahing.

Namun, Sunan tak menemukan sumber air untuk berwudhu di kawasan itu. Lalu, Sunan berdoa kepada Allah, dan menancapkan tongkatnya ke dalam tanah. Keajaiban terjadi, dari tancapan tongkatnya memancar air.

Dipercaya, air inilah yang tak pernah kering hingga saat ini. Kemudian di namakan Tuk Si Bedug, yang maknanya sumber air yang keluar dari tancapan tongkat Sunan yang terjadi pada waktu bedug dzuhur. Semula bentuknya hanya berupa kolam yang tiada henti keluar air. Awal 2001, didirikan sejumlah bangunan di sini.


Dari cerita ini pula lahir upacara adat Tuk Si Bedug yang dilaksanakan setiap tahun pada Jum’at Pahing di bulan Jumadil Akhir dalam kalender Jawa. Pelaksanaannya selama tiga hari berturut-turut. Ini sebagai wujud rasa syukur dan ungkapan terimakasih yang tulus dari masyarakat di sini.

Mereka percaya, Tuk Si Bedug inilah yang memberikan berkah bagi Sleman. Memang pula dari Tuk inilah mereka mengairi sawah dan ladang tempat mereka bercocok tanam. Dan, kolam ini tak pernah kering mesti Sleman sedang dilanda kemarau. Air nan jernih terus mengalir.

Jadi tak heran jika masyarakat pun percaya akan kesucian dirinya jika mandi di sini. Bahkan diyakini pula, bahwa dari Tuk Si Bedug mengalir air suci sehingga diharapkan padusan akan bertuah sesuai harapan mereka.

Itulah sebabnya, masyarakat yang berkunjung ke tempat ini tidak hanya dari Pulau Jawa semata, juga dari daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. Maka itu, jika menjelang puasa, untuk bisa mandi di sini haruslah mengantre.

Tak perlu berkerut dahi untuk memahami hal seperti ini, sebab ini soal keyakinan seseorang. Jadi bebas saja untuk menganalisis. Di dalam Al-Quran dan Hadits tentu tak akan ditemukan ajaran seperti ini untuk menyambut bulan puasa.

Kendati demikian, tak ada yang mempersoalkan dan mempertentangkannya. Ini adalah sebuah adat dan kebiasaan. Justru mereka akan merasa kurang afdol jika melaksanakan ibadah puasa tanpa menjalankan prosesi yang dianggap sakral itu.